Feb 15, 2016

Gender: Teoritis dan Konsep



Konsep Gender
Istilah gender pada mulanya berasal dari perhatian kaum feminis dalam bidang politik. Pada waktu itu, mereka memiliki keinginan yang kuat untuk mengubah hubungan antara pria dan wanita yang dianggap tidak adil, terutama dalam bidang politik atau kekuasaan (Gilchrist, 1999:2). Selanjutnya, Gilchrist berpendapat bahwa gerakan kaum feminis yang telah mempengaruhi arkeologi ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga gelombang (Savitri, 2007:pp.161-167).
Gelombang pertama berlangsung sekitar tahun 1880 hingga 1920. Gerakan ini bermula dari keinginan kaum feminis untuk mengubah sistem kekuasaan yang ada. Pada waktu itu, pria lebih berkuasa dalam bidang politik apabila dibandingkan dengan wanita. Akibatnya adalah wanita tidak dapat tampil di depan umum karena mereka tidak hanya tidak memiliki hak pilih, tetapi juga tidak dapat beremansipasi dalam masyarakat, tidak dapat aktif dalam bidang politik, tidak dapat mengikuti pendidikan tinggi, serta tidak dapat memiliki pekerjaan yang layak. Dengan adanya gerakan kaum feminis itu, sedikit demi sedikit peran wanita dalam bidang politik, pendidikan, dan pekerjaan yang layak di luar rumah menjadi lebih besar daripada sebelumnya.
Gelombang kedua ini berkembang pada akhir tahun 1960-an. Fokus gerakan gelombang kedua ini adalah pada isu kesetaraan dalam hubungannya dengan jenis kelamin, reproduksi, serta penggunaan wilayah publik dan domestik. Fokus tersebut muncul karena adanya tekanan terhadap wanita sehingga menimbulkan ketidaksetaraan antara pria dan wanita. Tekanan tersebut berasal dari teori patriarki yang dalam praktiknya sangat mempengaruhi kerangka kerja berbagai ilmu baik sosial maupun alam. Teori tersebut menyatakan bahwa kekuasaan membentuk subordinasi wanita melalui beberapa institusi, seperti keluarga, pendidikan, agama, dan pemerintah. Ilmu-ilmu yang terpengaruh itu di antaranya adalah sejarah, antropologi, dan primatologi.
Gelombang ini berkembang sejak awal tahun 1980 hingga sekarang. Gelombang ini mengacu pada pemikiran postmodernis feminism atau bahkan postfeminism yang dipengaruhi oleh poststructuralism dan postcolonialism . Perhatian kaum feminis pada gelombang ketiga ini lebih tertuju pada pendekatan kultural dan simbolis. Pada dasarnya, kaum feminis ini menolak pemikiran yang menggolong-golongkan karakter pria dan wanita secara umum. Adapun penekanan pada gelombang  ketiga ini adalah perbedaan, yaitu perbedaan antara pria dan wanita, baik secara seksual, etnis, maupun sosial.

Bias Gender
Persoalan bias gender mengacu pada pendapat paham androsentris, dimana paham ini berpendapat bahwa pria adalah pusat dari segala hal, pria adalah pembentuk masyarakat atau dominasi pria adalah normal dan alami (Johnson, 1999:119). Sebaliknya, wanita dianggap tidak penting dan sebagai pihak yang terpinggirkan serta tidak memiliki arti penting. Pendapat-pendapat umum yang lebih menonjolkan peran pria dibandingkan dengan wanita dalam masyarakat itulah yang disebut sebagai bias gender.
Masalah utama gender adalah bahwa hal itu didasarkan pada bias gender, yaitu suatu atribut karakteristik sosial yang didasarkan pada anatomi (Hausman 2001). Pemahaman gender yang didasarkan hanya pada anatomi semata menghasilkan suatu bias yang melekat pada masyarakat. Masyarkat khususnya mengidentikkan gender dengan fungsi-fungsi perempuan dan laki-laki yang hanya didasarkan pada persoalan jenis kelamin yang secara kodrati memang memiliki perpedaan. Namun, anggapan ini justru memperburuk pemahaman sehingga akan membatasi masyarakat dalam melihat dan memahami gender itu sendiri. Banyak orang beranggapan bahwa gender hanya dilihat dari struktur biologis pada individu, sehingga menghasilkan persepsi bahwa gender "tidak dapat diubah" dan "alami" (Preves 2001).
Kata gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki-namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan ini bervariasi di setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa kemiripan yang mencolok. Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada laki-laki. Gender adalah sebuah kategori sosial yang sangat menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan ekonomi (Word Bank. 2000).

Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender merupakan hal yang diterima secara luas sebagai komponen penting bagi praktek pembangunan yang  berkelanjutan. Pemberian kesempatan yang sama bagi perempuan, sebagaimana laki-laki, untuk mengembangkan potensi mereka secara maksimal dan berkontribusi bagi ekonomi dan kesejahteraan keluarga serta masyarakat, merupakan sebuah elemen penting dalam upaya mencapai pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan.
Aida Vitayala (2014) mengungkapkan, persepsi mengenai perbedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan ciri biologis primer (fisik) telah membudaya, sehingga memengaruhi cara pandang masyarakat. Padangan itu juga yang membatasi peran perempuan dalam tatanan sosial. Ciri biologis primer itu memungkinkan perempuan memiliki kemampuan 2H - 2M (haid, hamil, melahirkan, dan menyusui). Hal itu menyebabkan mereka diposisikan berperan di rumah. Dalam ciri biologis sekunder (kuat-lemah atau maskulin-feminin) tidak ada perbedaan mencolok. Demi meraih hak sama di segala bidang, perempuan mengharapkan kesetaraan gender. Kesetaraan disini bukan berarti tuntutan perempuan untuk menyamakan fungsi perempuan dan laki-laki. Kesetaraan disini, dimana perempuan ingin memiliki akses dan kesempatan yang sama sesuai dengan kompetensinya.
Pembangunan yang memerhatikan ketidaksetaraan gender dan berbagai bentuk diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan sesungguhnya membantu kaum perempuan dalam memajukan hak-hak asasi mereka dan mendukung terciptanya sebuah masyarakat yang lebih adil dan kooperatif.  Sementara itu, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Instruksi Presiden (INPRES) RI No.9/2000 yang mensyaratkan perlunya pengarusutamaan gender dalam upaya-upaya pembangunan. Pada tahun 2002, sebuah pedoman mengenai Petunjuk Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional telah diterbitkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk memberikan arahan bagi lembaga-lembaga pemerintah  dalam pelaksanaan INPRES 9/2000, dan menyusul dengan digunakannya sebuah pendekatan GAP (Gender Analysis Pathway) (Word Bank:2000).
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Indonesia tahun 2005-2009 menargetkan pengarusutamaan gender dalam area-area utama yang terkait dengan upaya mewujudkan negara Indonesia yang adil dan demokratis. Dokumen ini mempertegas pentingnya: menjamin partisipasi semua anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan baik di tingkat nasional maupun daerah;  memperkenalkan tindakan afirmatif bagi partisipasi kaum perempuan dalam pemerintahan; menyediakan upaya-upaya peningkatan kapasitas bagi kaum perempuan untuk berperan dalam pengambilan keputusan politik; menjamin partisipasi kaum perempuan dalam berbagai pelatihan dan peningkatan keterampilan bisnis; serta memastikan bahwa sektor formal memberikan peluang kepada kaum perempuan untuk berpartisipasi di dalamnya. 

Daftar Pustaka
Preves, S. E. (2005). Intersex and identity: The contested self. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press.
Johnson, Matthew. 1999. Archaeological theory: An Introduction. Oxford: Blackwell Publishers Ltd.
Savitri, Mimi. 2007. Bias Gender: Masalah Utama Dalam Interpretasi Arkeologi. Jurnal Humaniora. Vo. 9. No. 2. Halaman 161-167.
Witayala, Aida. 2014. Kesetaraan Gender. http://www.jurnalperempuan.org/ kesetaraan-gender.html  diakses tanggal 14-04-2015 pukul 13:30.
Gilchrist, Roberta. 1999. Gender and Archaeology. New York: Routledge.


Hausman, B. L. (2001). Recent transgender theory. Feminist Studies, 27, 465–490.
Word Bank. 2000. Rangkungan Pembangunan Berperspektif Gender. siteresources.worldbank.org diakses tanggal 14-04-2015 pukul 13:30.
 

 

Feb 14, 2016

Usaha Kesehatan Sekolah

Alasan yang mendasar dari semangat yang tertuang dalam SKB 4 menteri dalam pedoman pelaksanaan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) diantaranya bahwa anak usia sekolah merupakan kelompok umur yang rawan terhadap masalah kesehatan. Usia sekolah sangat sensitif untuk menanamkan pengertian dan kebiasaan hidup sehat. Sekolah merupakan institusi masyarakat yang terorganisasi dengan baik. Keadaan kesehatan anak sekolah akan sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar yang dicapai. Anak sekolah merupakan kelompok terbesar dari kelompok usia anak-anak yang menerapkan wajib belajar. Pendidikan kesehatan melalui anak-anak sekolah sangat efektif untuk merubah perilaku dan kebiasaan hidup sehat umumnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Budiono (2013: pp.184-191) menunjukkan bahwa 78% responden mendukung peran UKS untuk menyampaian informasi kesehatan reproduksi, sedangkan pelaksanaan Trias UKS di sekolah masih kurang. Hasil kajian ini memberikan gambaran bahwasanya peran UKS disekolah bukan lagi hanya sebagai pelengkap, namun menjadi bagian fundamental sebagai bagian dari kerangka besar pendidikan.
Lebih kongkrit UKS ditujukan untuk memupuk kebiasaan hidup sehat dan meningkatkan derajat kesehatan peserta didik, mencakup : a. menurunkan angka kesakitan anak sekolah. b. meningkatkan kesehatan peserta didik baik fisik, mental maupun sosial. c. Agar peserta didik memiliki pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk melaksanakan prinsip-prinsip hidup sehat serta berpartisipasi aktif dalam usaha peningkatan kesehatan di sekolah. d. Meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan terhadap anak sekolah. e. Meningkatkan daya tangkal dan daya hayat terhadap pengaruh buruk narkotika, rokok, alkohol dan obat-obatan berbahaya lainnya.
Sementara saat ini permasalahan kesehatan yang menimpa anak-anak usia sekolah sangat komplek, mulai dari tingginya angka kesakitan setiap bulannya terutama anak usia dini TK dan SD yang ini akan menggangu kesehatan anak-anak didik Dalam kegiatan belajar dan tumbuh kembangnya, lingkungan sekolah berupa sumber air bersih, jamban, pembuangan sampah, toilet, kantin, serta sarana pendukung lainnya , tempat dimana hampir tiap hari 4 - 6 jam anak-anak berkegiatan tampak masih belum banyak mendapat perhatian  dari masyarakat sekitar maupun pihak penyelenggara, kondisi ini juga turut memperburuk kondisi tumbuh kembang anak dan peserta didik dalam mempengaruhi pola hidup sehat dan yang lebih memprihatinkan adalah makanan yang disediakan dikantin sebagai satu satunya tempat anak-anak membeli makanan, masih banyak menyuguhkan jenis mekanan yang kurang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan anak-anak seperti hasil kajian oleh Kristianto (2013:pp.489-494) dimana hasil kajiannya menyimpulkan bahwa 71,4% jajanan mengandung formalin. Faktor utama yang menentukan pemilihan jajanan di sekolah mencakup variabel harga, hadiah, ukuran porsi, aroma, dan kebebasan menentukan pilihan sendiri. Hal ini lebih disebabkan oleh pola perilaku para pengelola kantin yang tidak memahami tentang gizi.

Daftar Pustaka:
Budiono, Muhammad Arif. 2013. Peran UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) Dalam Penyampaian Informasi Kesehatan Reproduksi Terhadap Siswa Smp
Negeri X Di Surabaya
. Jurnal Promkes Vol. 1 No. 2. ISSN. 1907-9206
Kristianto, Yohanes. 2013. Faktor Determinan Pemilihan Makanan Jajanan pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 7, No. 11, Juni 2013.
 

Tulisan Baru

Jamur Tiram peluang dan manfaatnya

  Jamur tiram merupakan salah satu tanaman yang dapat tumbuh dengan mudah pada media kayu lapuk, dapat dikonsumsi serta bernilai ekonomi. ...