Badan Pusat Statistik
merilis pada bulan September 2014 bahwa kemiskinan di Indonesia mencapai 10,96
%. Dengan demikian, lebih dari 27 Juta jiwa penduduk Indonesia masih hidup
dalam kondisi miskin. Pilihan solusi terbaik untuk mengurangi jumlah penduduk
miskin menurut Sularto (2010) adalah dengan membekali masyarakat melalui
pendidikan berbasis kewirausahaan. Pendapat Sularto sudah pernah dilontarkan
oleh Lanstron (2005:30) bahwasanya kewirausahaan harus diberi porsi yang besar
jika ingin membekali pendidik agar menjadi sumber utama dalam kemajuan
industri.
Dua pendapat di atas
bukannya mengabaikan kemampuan psikomotor yang terkait dengan kemampuan
malakukan kerja maupuan kemampuan dalam kaitannya dengan intelektual, tetapi
lebih pada memberikan kemampuan penyeimbang agar kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotor dilengkapi dengan kemampuan berwirausaha sehingga hasil (produk)
dari kombinasi kemampuan afektif, kognitif dan psikomotor mampu di tawarkan dan
dipasarkan dengan lebih baik dan mampu memberikan lapangan pekerjaan minimal
bagi dirinya. Hasil akhir dari perjalanan panjang ini adalah kemampuan
menyediakan lapangan pekerjaan yang akan memberi dampak pada berkurangnya
masyarakat miskin yang ada dinegara kita ini.
Manfaat lain dari
adanya pendidikan kewirausahaan adalah mengubah salah satu paradigma negatif
yang ada di masyarakat yaitu, paradigma yang berorientasi mencari pekerjaan,
bukan menciptakan pekerjaan. Salah satu upaya yang dilakukan banyak pihak
termasuk pemerintah, dunia usaha dan lembaga pendidikan adalah bagaimana
mengubah paradigma tersebut dari berorientasi mencari pekerjaan menjadi menciptakan
peluang pekerjaan baru. Perubahan paradigma ini penting untuk dibangun dan
dikembangkan. Selain fokus dalam menciptakan upaya pemecahan krisis masalah
ketenagakerjaan dan pengangguran tetapi juga mengembangkan potensi kemampuan
sumber daya manusia yang mandiri dan berpijak diatas kemampuan sendiri serta
ikut memberikan sumbangsih bagi tingkat pertumbuhan ekonomi dan kualitas
pembangunan bangsa Indonesia.
Langkah selanjutnya
dalam mengurangi kemiskinan adalah memfungsikan diri dalam lembaga yang telah
dibangunnya. Bukan berhenti, tetapi terus memperbaiki diri. Salah satu langkah
kongkrit adalah dengan memerankan diri sebagai bagian dari institutional entrepreneurships atau kewirausahaan kelembagaan.
Henrekson and Sanandaji
(2010) misalnya menjelaskan bahwa interaksi antara lembaga dan
kewirausahaan tidak terbatas pada
politik kewirausahaan. Kewirausahaan
pasar produktif juga
dapat mengubah regulasi di lapangan dan menciptakan peluang baru bagi kewirausahaan
politik. Seperti yang terjadi di Inggris,
misalnya, tidak hanya mendorong Revolusi Industri, mereka beradaptasi dengan
cepat dengan teknologi dan metode
produksi baru yang diperkenalkan
oleh pengusaha pasar.
Pemahaman inilah sebagai gambaran nyata relasi antara kewirausahaan dengan
kelembagaan yang mampu menciptakan kelembagaan baru sebagai hasil dari
penggabungan keriwausahaan dan kelembagaan dalam bingkai kewirausahaan
kelembagaan atau ada yang menyebutnya dengan kewiralembagaan.
Urgensi Kewirausahaan Lembaga
Bekerja
pada suatu lembaga secara tradisional berfokus pada kontinuitas baik dalam
lingkup personal maupun dalam kerangka yang lebih besar yaitu perusahaan. Namun
di sisi lain, perkembangan jaman dan kompetisi menuntut juga untuk selalu
melakukan perubahan.
Bagaimana
jika tidak berubah? Pertanyaan ini memberikan jawaban pasti yaitu matinya
organisasi/lembaga tersebut, karena tidak mampu lagi memenuhi tuntutan stakeholder atau konsumen kalau kita
asumsikan sebuah perusahaan. Contoh nyata dari tidak seimbangnya perubahan yang
terjadi dengan arus globalisasi dan kompetisi disuatu lembaga adalah BUMN yang
ada di negara kita. PT Askrindo, PT
PAL Indonesia, PT Industri Sandang, PT Jakarta Llyod, PT Kertas Kraft Aceh dan
masih banyak BUMN lain yang terus mengalami kerugian (Syarief; 2012).
Kondisi
tersebut jika terus dibiarkan akan mengakibatkan pada ditutupnya BUMN yang kita
miliki. Penyebab utamanya adalah proses perubahan di tubuh BUMN lebih sulit
karena aturan BUMN yang tidak membolehkan mengambil untung dari masyarakat,
sementara terus di tuntut untuk membantu keuangan nasional (paradok).
Kalau
kita perhatikan kembali kondisi BUMN kita bisa diposisikan sebagai paradok
kewirausahaan kelembagaan. Hasil analisis Battilana (2004:pp.1-31) bahwasanya
paradok kewirausahaan kelembagaan bisa diselesaikan dengan memberikan pemahaman
secara menyeluruh tentang pentingnya perubahan baik internal (secara
struktural) dan eksternal (kelompok pemanfaat/konsumen dan masyarakat secara
umum) serta komponen lain yang masih terlibat dengan organisasi. Pemahaman ini
menjadi dasar yang akan melatarbelakangi terciptanya perubahan
organisasi/lembaga.
Garud (2007:pp 957-969) menyatakan bahwa perubahan harus menyandingkan kekuatan kelembagaan
dan kewirausahaan ke dalam sebuah konsep tunggal, sehingga perubahan tersebut
akan menghasilkan solusi organisasi dan dampaknya adalah praktek baru atau
bentuk organisasi baru, misalnya menjadi ada dan menjadi mapan dari waktu ke
waktu.
Paparan
di atas memberikan pemahaman bahwa, kewirausahaan kelembagaan menjadi suatu
keharusan kalau suatu lembaga diharapkan mampu memenuhi tuntutan-tuntutan abad
ini. Perubahan dalam bingkai kewirausahaan kelembagaan harus dipahami secara holistik,
bikan mencari solusi per parsial yang hanya akan memberikan dampak secara sectoral sehingga tidak mampu menjawab
tuntutan-tuntutan tersebut.
Referensi : please email me
No comments:
Post a Comment