Jan 3, 2016

Kewirausahaan Kelembagaan

Pengantar Kewirausahaan
Badan Pusat Statistik merilis pada bulan September 2014 bahwa kemiskinan di Indonesia mencapai 10,96 %. Dengan demikian, lebih dari 27 Juta jiwa penduduk Indonesia masih hidup dalam kondisi miskin. Pilihan solusi terbaik untuk mengurangi jumlah penduduk miskin menurut Sularto (2010) adalah dengan membekali masyarakat melalui pendidikan berbasis kewirausahaan. Pendapat Sularto sudah pernah dilontarkan oleh Lanstron (2005:30) bahwasanya kewirausahaan harus diberi porsi yang besar jika ingin membekali pendidik agar menjadi sumber utama dalam kemajuan industri.
Dua pendapat di atas bukannya mengabaikan kemampuan psikomotor yang terkait dengan kemampuan malakukan kerja maupuan kemampuan dalam kaitannya dengan intelektual, tetapi lebih pada memberikan kemampuan penyeimbang agar kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor dilengkapi dengan kemampuan berwirausaha sehingga hasil (produk) dari kombinasi kemampuan afektif, kognitif dan psikomotor mampu di tawarkan dan dipasarkan dengan lebih baik dan mampu memberikan lapangan pekerjaan minimal bagi dirinya. Hasil akhir dari perjalanan panjang ini adalah kemampuan menyediakan lapangan pekerjaan yang akan memberi dampak pada berkurangnya masyarakat miskin yang ada dinegara kita ini.
Manfaat lain dari adanya pendidikan kewirausahaan adalah mengubah salah satu paradigma negatif yang ada di masyarakat yaitu, paradigma yang berorientasi mencari pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan. Salah satu upaya yang dilakukan banyak pihak termasuk pemerintah, dunia usaha dan lembaga pendidikan adalah bagaimana mengubah paradigma tersebut dari berorientasi mencari pekerjaan menjadi menciptakan peluang pekerjaan baru. Perubahan paradigma ini penting untuk dibangun dan dikembangkan. Selain fokus dalam menciptakan upaya pemecahan krisis masalah ketenagakerjaan dan pengangguran tetapi juga mengembangkan potensi kemampuan sumber daya manusia yang mandiri dan berpijak diatas kemampuan sendiri serta ikut memberikan sumbangsih bagi tingkat pertumbuhan ekonomi dan kualitas pembangunan bangsa Indonesia.
Langkah selanjutnya dalam mengurangi kemiskinan adalah memfungsikan diri dalam lembaga yang telah dibangunnya. Bukan berhenti, tetapi terus memperbaiki diri. Salah satu langkah kongkrit adalah dengan memerankan diri sebagai bagian dari institutional entrepreneurships atau kewirausahaan kelembagaan.
Henrekson and Sanandaji (2010) misalnya menjelaskan bahwa interaksi antara lembaga dan kewirausahaan tidak terbatas pada politik kewirausahaan. Kewirausahaan pasar produktif juga dapat mengubah regulasi di lapangan dan menciptakan peluang baru bagi kewirausahaan politik. Seperti yang terjadi di Inggris, misalnya, tidak hanya mendorong Revolusi Industri, mereka beradaptasi dengan cepat dengan teknologi dan metode produksi baru yang diperkenalkan oleh pengusaha pasar. Pemahaman inilah sebagai gambaran nyata relasi antara kewirausahaan dengan kelembagaan yang mampu menciptakan kelembagaan baru sebagai hasil dari penggabungan keriwausahaan dan kelembagaan dalam bingkai kewirausahaan kelembagaan atau ada yang menyebutnya dengan kewiralembagaan.


Urgensi Kewirausahaan Lembaga
Bekerja pada suatu lembaga secara tradisional berfokus pada kontinuitas baik dalam lingkup personal maupun dalam kerangka yang lebih besar yaitu perusahaan. Namun di sisi lain, perkembangan jaman dan kompetisi menuntut juga untuk selalu melakukan perubahan.
Bagaimana jika tidak berubah? Pertanyaan ini memberikan jawaban pasti yaitu matinya organisasi/lembaga tersebut, karena tidak mampu lagi memenuhi tuntutan stakeholder atau konsumen kalau kita asumsikan sebuah perusahaan. Contoh nyata dari tidak seimbangnya perubahan yang terjadi dengan arus globalisasi dan kompetisi disuatu lembaga adalah BUMN yang ada di negara kita. PT Askrindo, PT PAL Indonesia, PT Industri Sandang, PT Jakarta Llyod, PT Kertas Kraft Aceh dan masih banyak BUMN lain yang terus mengalami kerugian (Syarief; 2012).

Kondisi tersebut jika terus dibiarkan akan mengakibatkan pada ditutupnya BUMN yang kita miliki. Penyebab utamanya adalah proses perubahan di tubuh BUMN lebih sulit karena aturan BUMN yang tidak membolehkan mengambil untung dari masyarakat, sementara terus di tuntut untuk membantu keuangan nasional (paradok).
Kalau kita perhatikan kembali kondisi BUMN kita bisa diposisikan sebagai paradok kewirausahaan kelembagaan. Hasil analisis Battilana (2004:pp.1-31) bahwasanya paradok kewirausahaan kelembagaan bisa diselesaikan dengan memberikan pemahaman secara menyeluruh tentang pentingnya perubahan baik internal (secara struktural) dan eksternal (kelompok pemanfaat/konsumen dan masyarakat secara umum) serta komponen lain yang masih terlibat dengan organisasi. Pemahaman ini menjadi dasar yang akan melatarbelakangi terciptanya perubahan organisasi/lembaga.
Garud (2007:pp 957-969) menyatakan bahwa perubahan harus menyandingkan kekuatan kelembagaan dan kewirausahaan ke dalam sebuah konsep tunggal, sehingga perubahan tersebut akan menghasilkan solusi organisasi dan dampaknya adalah praktek baru atau bentuk organisasi baru, misalnya menjadi ada dan menjadi mapan dari waktu ke waktu.
Paparan di atas memberikan pemahaman bahwa, kewirausahaan kelembagaan menjadi suatu keharusan kalau suatu lembaga diharapkan mampu memenuhi tuntutan-tuntutan abad ini. Perubahan dalam bingkai kewirausahaan kelembagaan harus dipahami secara holistik, bikan mencari solusi per parsial yang hanya akan memberikan dampak secara sectoral sehingga tidak mampu menjawab tuntutan-tuntutan tersebut. 
Referensi : please email me

No comments:

Post a Comment

Tulisan Baru

Jamur Tiram peluang dan manfaatnya

  Jamur tiram merupakan salah satu tanaman yang dapat tumbuh dengan mudah pada media kayu lapuk, dapat dikonsumsi serta bernilai ekonomi. ...